Langit dirundung gelap ketika rembulan tergantung samar pada belahan malam. Membuat langitku semakin pekat, hanya dingin yang melekat. Sesaat selanjutnya kunang-kunang mulai hadir bersama siulan angin yang mengusung gigil. Lantas risauku tentang gelap mulai pergi, berganti imajiku yang berkelakar tentang bintang-bintang yang andai bisa kuraih.
“Apakah kau sudah tidur?” bisikku sambil membelai badannya.
“Em...
” eramnya yang berarti tidak.
“Apakah kau sama takutnya denganku tentang malam? Sudahlah setidaknya aku masih menemanimu disini,” ujarku yang berusaha menenangkan.
“Tidak, aku tidak takut pada malam. Aku sungguh menikmatinya, walau tak semua bintang berjajar dan rembulan sayup-sayup tertutup awan.”
Aku hanya diam. Tak paham tentang apa yang dia bicarakan.
“Umurku semakin tua, dan akan habis esok senja,” tambahnya.
Aku menutup mulut rapat-rapat, berharap dia melanjutkan maksud pembicaraan ini.
“Senang rasanya menunggu pagi sambil ditemani kunang-kunang. Tidak biasanya mereka datang. Sepertinya mereka ingin mengucap perpisahan. Aku juga tak sabar menunggu esok pagi untuk bercumbu, aku tak ingin melewatkan setitik anugerah pun kali ini. Tidurlah, tak biasanya kau terjaga selarut ini.”
***
Secercah sinar menyengat kulitku. Surya kembali terjaga. Detik itu berlalu begitu saja. Ada kecup embun dibadanku dan membuatku basah.
“Selamat pagi,” sapanya. Aku menoleh kearahnya dan tersenyum.
Sayup-sayup aku mendengar langkah asing. Ada suara-suara bising. Seperti gergaji, oh mungkin juga sebuh kapak. Seutuhnya aku terjaga. Tiba-tiba rasa takut menyergap. Yang kulihat disana dua orang pria dan aku setengah mati ketakutan.
“Apakah ini maksud perkataanmu semalam?”gumamku sembari memandangnya yang juga memandangku. Ada senyum simpul dibibirnya. Aku menggeleng. Tidak ingin menjadi saksi atas getir yang segera hadir.
“Apakah ada takut yang menjalar di nadimu?” aku tetap bergumam dalam pikiranku sendiri. Merasa bodoh tentang sesuaru yang tak kusadari selama ini.
“Apa yang bisa kulakukan?” kali ini suaraku tercekat bersama bulir-bulir mata yang hampir keluar.
Sepanjang hari itu aku memutuskan untuk memandanginya tanpa jeda. Tidak ada lagi kesempatan bagiku kali ini, selain tetap memandanginya yang sebenarnya juga tak ingin pergi. Dan tiada lagi yang bisa kulakukan selain tetap duduk disampingnya, sesekali bersandar, hingga senja yang berwarna merah mulai terlihat dipundaknya. Kali ini dia tampak lesu, menunduk, dan terbungkam bisu.
“Menangislah jika kau ingin menangis,” baru detik ini aku membiarkan suaraku keluar dan dibalas oleh gelengan kepalanya.
“Tidak apa. Kali ini kau boleh tersedu didepanku, aku tak akan mencibir ataupun tertawa,” suaraku terbata dan dia tetap memaksakan senyum itu menempel dibibirnya, dengan binar mata yang nanar.
“Hei Mardi! Cepatlah, keburu malam!” teriak seorang pria diseberang.
“Iya bos, siap!” timpal seorang pria lain yang menuju kearahku dengan menenteng gergajinya.
Satu per satu bulirku menetes, aku menangis untuknya. Kusentuh kulitnya yang mulai bergetar. Aku tahu dalam hati kecilnya, dia ketakutan. Namun dia masih berusaha tegar dan tetap kuat. Seketika, mesin gergaji itu berubah menjadi malaikat ajal yang mencabik-cabik nadinya.
“Terimakasih telah menemaniku selama ini,” ujarnya yang mulai terkulai lemas. Bulir dimatanya jatuh, badannya yang kokoh tersungkur ke tanah. Aku terpejam. Air mataku mengalir deras. Sedetik setelahnya aku memberanikan diriku untuk condong kearahnya. Mengecup tubuhnya disela-sela rona senja yang menjadi saksi perpisahan kita.
“Sesungguhnya pergimu telah meninggalkan berjuta cerita indah bagi kehidupan semesta. Pagi, malam, dan senja berbahasa. Begitu juga dengan kita. Kau rumah bagi burung yang bersarang. Juga teman paling kuat dan setia. Namun, apalah aku yang hanya belukar liar-yang tumbuh di antara celah akarmu. Tiada daya bagiku membelit kaki-kaki pembalak liar itu”
Tiara Balqhis XII MIA 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar